WELCOME TO MY BLOG :)

Wednesday, June 12, 2013

"REFORMASI YANG DAPAT MEMPERBAIKI NASIB BANGSA DAN MENGANGKAT MARTABAT BANGSA DARIPANDANGAN DUNIA LUAR"

 REFORMASI YANG DAPAT MEMPERBAIKI NASIB BANGSA DAN MENGANGKAT MARTABAT BANGSA DARIPANDANGAN DUNIA LUAR


Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dan kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakil presiden Prof Dr. BJ. Habibi  pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Habibie  inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan membawa  Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata system ketatanegaraan  yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD 1945  agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman. 

            Pelaksana demokrasi pada masa Orde Baru terjadi selain karena moral penguasanya juga memang  terdapat berbagai kelemahan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, selain melakukan reformasi dalam bidang politik untuk tegaknya demokrasi melalui perubahan perundang-undangan, juga diperlakukan amendemen UUD 1945. Lima paket Undang-undang Politik telah diperbaharui pada tahun 1999 yaitu : 

a. UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, selanjutnya diperbarui lagi dengan UUD No. 31 Tahun 2002.
b. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, akhirnya diubah lagi dengan UU No. 12 Tahun 2003.
c. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD selanjutnya diganti dengan UU No. 22 Tahun 2003.
d. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan  dan Diganti dengan  UU No. 32 Tahun 2004 yang didalamnya memuat pemilihan kepada daerah secara langsung.
e. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Reformasi dapat diterjemahkan sebagai perubahan radikal (bidang sosial, politik atau agama) disuatu masyarakat atau negara. Sedangkan reformis adalah orang yang menganjurkan adanya perbaikan (bidang politik, sosial, agama) tanpa kekerasan.

Radikal berarti secara menyeluruh, habis-habisan, perubahan yang amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan, dan sebagainya), maju dalam berfikir dan bertindak. Selain itu, radikalisme adalah faham atau aliran yang radikal dalam politik, faham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis, sikap ekstrim disuatu aliran politik.

            Reformasi dapat pula diartikan sebagai suatu tindakan perbaikan dari sesuatu yang dianggap kurang atau tidak baik tanpa melakukan perusakan-perusakan pranata yang sudah ada. Pranata yang dimaksudkan disini adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya dalam berbagai kompleksitas manusia didalam masyarakat.

            Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata tidak seperti yang diharapkan yaitu reformasi yang mampu mengadakan perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk mampu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) dan membentuk pemerintahan yang bersih ternyata masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin merajalela. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive dan akuntabel masih jauh dari harapan. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif juga tidak mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja pemerintahan. Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik.

            Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Oleh karenanya reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan

            Perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Namun banyak disadari oleh berbagai kalangan yang terlibat dalam proses reformasi atau demokratisasi tersebut, bahwa perubahan dan pengubahan tersebut tidak dengan sendirinya akan membawa perbaikan yang dikehendaki, yakni ditegakkannya demokrasi serta dihargai sepenuhnya HAM.
Hingga hari ini kita masih berada di tengah-tengah krisis yang begitu
dalam dan mengoyak seluruh lapisan masyarakat serta setiap segi
kehidupannya. 
Orang-orang yang berada di lapis bawah ini lah yang paling
membutuhkan demokrasi. Pemikiran dan tindakan demokratik seharusnya
diarahkan pada kebutuhan rakyat dari lapis bawah tersebut.


            Langkah perubahan menuju perbaikan nasib bangsa ke depan tidak boleh berhenti pada wacana. Reformasi membuat rakyat semakin cerdas karena memiliki kebebasan mengekpresikan pikiran dan pendapat tanpa takut ditekan atau dipenjarakan. Dengan cerdas rakyat ikut memantau realiasi program dan mencatat semua janji pemimpin. Perubahan harus mencakup berbagai aspek peningkatan kualitas material, moril, paradigma dan mentalitas bangsa secara menyeluruh. Itulah tujuan reformasi sesungguhnya. Mewujudkan perubahan radikal, meningkatkan kesejahteraan moril, material, kesadaran mental dan rasa keadilan yang tumbuh secara simultan. Terbersit harapan besar untuk mencapai taraf hidup berkualitas dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik bagi semua elemen masyarakat dibanding pra reformasi. Berjuang mengisi kemerdekaan dengan berupaya terus meningkatkan harkat dan martabat bangsa!
Perlu diingat bahwa perubahan radikal tanpa visi dan agenda jelas nyaris jadi gerakan sia-sia. Seperti ada invisible hand yang mempengaruhi kekuasaan dengan menyandera dan menghambat laju gerak laku  perubahan radikal tersebut. Tak mampu memutus dan mengikis habis anasir jahat, tangan tak terlihat yang ego sentris. Tidak jelas lagi peran master mind, pelaku program utama, transparansi tugas pelaksana dan siapa pengawas aktif pemberi kontribusi dari komponen masyarakat sebagai pelaku reformasi. Pasca reformasi, laiknya semua menjadi buram, samar-samar bahkan gelap, kecuali kebebasan berekspresi yang coba dipersempit, dibungkam dan dibungkus melalui RUU rahasia Negara. Seolah-olah ada  penelikung kemajuan ataukah penghambat reformasi.

a.)   Makna Reformasi yang Diharapkan.

Reformasi adalah era baru dari perjalanan bangsa Indonesia, sebuah jalan menuju cita-cita awal pejuang 45 yang terangkum dalam Pancasila dan UUD 1945. Kehadiran era ini, muncul dari keresahan masyarakat atas penyimpangan-penyimpangan yang mencedari tujuan awal terbentuknya NKRI. Sebuah keniscayaan dari keinginan luhur untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang berdaulat, adil dan makmur.

Gerakan mahasiswa yang menumbangkan rezim Suharto tidak lahir begitu saja, ia hanya puncak dari kekesalan yang setiap hari terus berkembang biak. Hingga pada akhirnya muncullah gerakan besar yang dapat meruhtuhkan kekuasaan Suharto, di mana sebelumnya ia ditakuti oleh masyarakat, karena setiap ada aksi protes atas kebijakannya langsung ditangkap dan kadang tak urung kembali pada keluarganya.

Saat ini, kita sudah berada ditahun ke 14 pasca reformasi, namun belum ada sinyal-sinyal positif yang menunjukkan kesejahteraan masa depan bangsa Indonesia, malah kita dapat menyaksikan sekian banyaknya persoalan bangsa yang tak kunjung terselesaikan. Lantas dimana komitmen pemerintah? Apakah masih menunggu gerakan reformasi kedua untuk menumbangkan rezim yang berkuasa dan kembali membangun puing-puing cita-cita para pejuang, demi Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.

b.)   Yang harus kita perbuat dalam membangun bangsa dan Negara menuju tujuan nasional

            Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini, itu terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali.
Unsur-unsur sosial budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan.
Karena masuknya kebudayaan dari luar, maka terjadi proses akulturasi (percampuran kebudayaan). Kebudayaan dari luar itu adalah kebudayaan Hindu, Islam, Kristen dan unsur-unsur kebudayaan lain yang beraneka ragam. Semua unsur-unsur kebudayaan dari luar yang masuk diseleksi oleh bangsa Indonesia.
            Kemudian sifat-sifat lain terlihat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama yang senantiasa dilakukan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Hal itulah yang mendorong terwujudnya persatuan bangsa Indonesia.

Terdapat beberapa prinsip yang juga harus kita hayati serta kita pahami lalu kita amalkan.
Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Bhineka Tunggal Ika
Prinsip ini mengharuskan kita mengakui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama dan adat kebiasaan yang majemuk. Hal ini mewajibkan kita bersatu sebagai bangsa Indonesia.

b. Prinsip Nasionalisme Indonesia
Kita mencintai bangsa kita, tidak berarti bahwa kita mengagung-agungkan bangsa kita sendiri. Nasionalisme Indonesia tidak berarti bahwa kita merasa lebih unggul daripada bangsa lain. Kita tidak ingin memaksakan kehendak kita kepada bangsa lain, sebab pandangan semacam ini hanya mencelakakan kita. Selain tidak realistis, sikap seperti itu juga bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.

c. Prinsip Kebebasan yang Bertanggungjawab
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memiliki kebebasan dan tanggung jawab tertentu terhadap dirinya, terhadap sesamanya dan dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa.

d. Prinsip Wawasan Nusantara
Dengan wawasan itu, kedudukan manusia Indonesia ditempatkan dalam kerangka kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Dengan wawasan itu manusia Indonesia merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional.

e. Prinsip Persatuan Pembangunan untuk Mewujudkan Cita-cita Reformasi
Dengan semangat persatuan Indonesia kita harus dapat mengisi kemerdekaan serta melanjutkan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur.


c.)   Batas-batas yang harus dijaga, Supaya tidak menggangu Stabilitas Nasional.
           
            Reformasi sudah berjalan sekitar 12 tahun, dibanding masa orde baru, perubahan sistem demokrasi di negeri ini memang cukup drastis. Perubahan yang mencolok antara lain kebebasan berbicara, berpendapat, dan mendapatkan informasi sudah melampaui batas-batas yang diharapkan, semuanya bebas sensor. Kini, setiap orang bebas berbicara atau mengungkapkan pendapatnya, bahkan mengkritik, menghujat, hingga mencerca orang nomor satu di negeri ini pun bukan hal yang tabu lagi. Bandingkan dengan masa Pak Harto ketika berkuasa, tak ada satu pun yang berani terang-terangan mengkritik beliau. Isi media massa kala itu pun hampir seragam, tak ada yang terang-terangan mengkritisi kebijakan Pak Harto. Siapa yang coba-coba nekad, bredel dan penjara akibatnya. Meski kebebasan berbicara atau berpendapat masih tetap dijamin, tapi selalu dibatasi oleh jargon kebebasan yang bertanggung jawab.Jadi tak heran, seniman seperti Iwan Fals kala itu laku di pasaran karena lagu-lagunya penuh dengan sindiran, terutama sindiran untuk penguasa hingga wakil rakyat.

            Sekarang, untuk mengkritisi penguasa maupun wakil rakyat tak perlu pakai jurus sindir menyindir atau menjadi penyanyi seperti Iwan Fals. Secara eksplisit, semua bebas mengkritisi dengan terang-terangan. Terkadang etika berbicara pun hampir tak ada. Itulah buah dari reformasi. Tak heran kalau Pak SBY membangga-banggakan kemajuan demokrasi di negeri ini dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus lalu. Dan tak heran pula kalau Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar setelah Amerika Serikat dan India. Apakah ini suatu prestasi yang membanggakan atau tidak tergantung persepsi tiap individu. Namun, apakah kemajuan demokrasi ini juga diikuti oleh kemajuan bidang lainnya. Untuk menjawabnya bisa dilihat dari indikator kemajuan dalam empat bidang pokok berikut, seperti bidang politik, bidang ekonomi, penegakan hukum, serta pertahanan dan keamanan.

d.)  Faktor- factor yang mendorong terjadinya gejolak.

Pergerakan Reformasi yang dicetuskan pada era 1997-1998 memang telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Sistem Politik, pemerintahan, ekonomi, bahkan pendidikan mengalami perubahan yang cukup fundamental sejak pergerakan yang mampu mengakhiri eksistensi rezim Soeharto tersebut menegaskan diri di Indonesia. Dengan perubahan-perubahan tersebut, mencuatlah harapan dan keinginan dari semua pihak untuk memajukan (kembali) kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding fathers kita dalam Mukadimah UUD 1945.

Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada sistem pemerintahan. Kita ketahui, sistem pemerintahan Indonesia selalu mengalami dinamika dan perubahan-perubahan yang kemudian mengubah substansi dari fungsi pemerintahan itu sendiri. Pada periode 1949-1950, Indonesia memberlakukan sistem republik federal yang pada perkembangannya hanya menjadi alat bagi pihak asing untuk menumbuhkan benih-benih separatisme. Kemudian, Indonesia memberlakukan sistem politik demokrasi liberal dan sistem kabinet parlementer. Sistem ini terbukti juga tidak berjalan optimal karena adanya friksi dan pertentangan antarfaksi di parlemen.

Pertentangan yang jelas terlihat pada PNI yang berideologi marhaen, PSI yang berideologi sosial-demokrat, PKI yang berideologi sosial-komunis, dan Masyumi yang berideologi Islam. Akan tetapi, keadaan tersebut semakin diperparah oleh sikap Presiden Soekarno yang mendeklarasikan diri sebagai dktator melalui dekrit 5 Juli 1959. Alhasil, Demokrasi terpimpin dengan jargon-jargon seperti Manifesto Politik Indonesia (Manipol), UUD ’45, Sosialisme, Demokrasi (Usdek), dan Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom) berkuasa sampai G30S/PKI menumbangkan kekuasaan tersebut.

Pada era orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang ketat di satu sisi dapat membawa stabilitas politik di Indonesia. Akan tetapi, tindakan Soeharto di pertengahan masa jabatannya ternyata tidak jauh berbeda dengan Soekarno, hanya ingin berkuasa dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Doktrin P4 dan Asas tunggal Pancasila diberlakukan. Hasilnya, HMI harus mengalami perpecahan menjadi PB HMI yang menerima asas tunggal dan HMI MPO yang menolak. PII yang merupakan “adik” HMI dengan tegas menolak asas tunggal dan akhirnya menjadi organisasi bawah tanah.

Penangkapan aktivis terjadi di mana-mana, mulai dari Tanjung Priok sampai Talangsari Lampung. AM Fatwa, Wakil Ketua MPR-RI sekarang adalah satu dari aktivis yang ditangkap akibat sikap represif aparat orde baru. Dalam audiensi pimpinan MPR-RI dengan mahasiswa.




e.)   Bagaimana pendapat anda kebebasan berbicara yang terjadi akhir –akhir ini dari sudut pandang etika dan bagaimana semestinya ?

           
Kebebasan mengeluarkan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas. Mengemukakan pendapat bagi setiap warga negara dapat dilakukan melalui saluran tradisional dan saluran moderen. Perangkat perundang-undangan dalam mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat pada dasarnya dimaksudkan agar setiap orang dalam mengemukakan pendapatnya dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab.
Yang dimaksudkan dengan setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dapat berbentuk ungkapan atau pernyataan dimuka umum atau dalam bentuk tulisan ataupun juga dapat berbentuk sebuah aksi unjuk rasa atau demonstrasi. Unjuk rasa atau demonstrasi dalam kenyataan sehari-hari sering menimbulkan permasalahan dalam tingkatan pelaksanaan, meskipun telah dijamin dalam konstitusi kita namun tata cara dan pelaksanaan unjuk rasa sering kali melukai spirit demokrasi itu sendiri. Aksi unjuk rasa seringkali berubah menjadi aksi yang anarkis dan melanggar tertib sosial yang telah terbangun dalam masyarakat. Tahun 1998 disaat awal mula tumbangnya Soeharto dimana puluhan ribu mahasiswa berunjuk rasa turun keruas-ruas jalan di Jakarta merupakan sebuah momen dimana unjuk rasa dapat menjadi aksi anarkis berupa perampokan, penjarahan dan pembakaran bahkan yang lebih parah aksiunjuk rasa dapat memakan korban jiwa.

Dengan melihat kondisi yang demikian tersebut Pemerintah pada tahun 1998 mengeluarkan Undang-Undang Nomer 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Meskipun tidak menyentuh secara detail tata cara dan pelaksanaan dari unjuk rasa itu sendiri namun Undang-undang ini memberikan sedikit harapan agar dikemudian hari aksi unjuk rasa tidak selalu diwarnai dengan aksi-aksi anarkis.
Kebebasan berpendapat memang sangat bagus karena pendapat yang kita keluarkan adalah cermin dari diri kita sendiri, orang lain dapat menilai diri kita dari cara kita berbicara baik itu secara positif ataupun negatif. Kasus yang sering terjadi sekarang ini adalah banyak orang yang berbicara terlalu bebas dengan dalih kebebasan berpendapat namun malah mengganggu hak orang lain. Hak yang dimaksud adalah privasi seseorang. Karena privasi adalah hak manusia juga,hak manusia untuk sendiri dan tak diganggu, hak manusia untuk bebas dari publisitas tanpa dasar,maukah anda jika hak anda tidak dapat dicapai karena orang lain. Manifestasi sejati dari kebebasan berpendapat adalah komunikasi dari sudut pandang yang berbeda,bukan dari dialog orang-orang yang mempunyai sudut pandang yang sama. Komunikasi tersebut dapat dijadikan ajang debat yang secara positif bisa meningkatkan intelegensia kita sebagai manusia. Sesuatu hal yang tidak kita inginkan adalah merasakan kerugian akibat perbuatan orang lain dan tentunya kita tidak akan menghilangkan hak-hak orang lain dengan mengeluarkan pendapat yang mungkin hanya mengejar kepuasan sendiri.
Semestinya, penyampaian pendapat di muka umum ini sebelum melakukan kegiatan diharuskan untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian. Hal ini diatur dalam Pasal 10 UU No.9 Tahun 1998, antara lain sebagai berikut: Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri, Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok, Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3X24 (tiga kalidua puluh empat jam) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat, Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah didalam kampus dan kegiatan keagamaan.

Sumber :


Wednesday, May 1, 2013

PEMBINAAN KEBANGSAAN INDONESIA


PEMBINAAN KEBANGSAAN INDONESIA


Makna kemerdekaan di era globalisasi bukanlah berarti suatu kemandirian total. Hakekat kemerdekaan di era globalisasi adalah suatu kapasitas yang mandiri yang dimiliki oleh suatu bangsa dalam membina keterbukaan dengan bangsa-bangsa lain didunia, berdasarkan prinsip saling melengkapi atau komplementasi, yang saling menguntungkan. Untuk dapat menjalankan prinsip komplementasi yang saling menguntungkan tersebut, maka suatu bangsa dituntut untuk memiliki daya saing atau competitiveness. Parameter daya saing inilah yang selanjutnya berperan penting dalam menentukan setiap dinamika kehidupan berbangsa.

             Sejalan dengan hal itu, maka kemandirian dan martabat suatu bangsa di era globalisasi akan sangat ditentukan oleh kapasitas bangsa tersebut dalam membina dan mengembangkan suatu pranata ekonomi dan sosial-politik yang menunjang peningkatan daya saing secara terus menerus. Bangsa yang berhasil di era milenium ini adalah bangsa dengan kapasitas daya saing tinggi, yang rakyatnya memiliki kapasitas berpikir yang cerdas, kemampuan imajinasi dan kreasi yang tak terbatas dan mental yang robust atau tahan banting. Bangsa dengan kualitas yang seperti itulah yang akan sanggup berevolusi di era milenium ini dan di masa depan.

            Sebaliknya tanpa adanya kapasitas daya saing yang tinggi, maka bangsa tersebut tidak akan mampu memberikan komplementasi yang berarti pada sistem sivilisasi global dan memberikan peran pada sektor-sektor ekonomi yang bernilai tambah tinggi. Bangsa yang demikian, walaupun sarat dengan sumber daya alam akan tergusur dan hanya mampu mengembangkan sektor ekonomi dengan nilai tambah rendah, lingkungan yang semakin rusak dan secara budaya akan terjajah.

            Tanpa adanya upaya dan komitmen bagi suatu bangsa untuk meningkatkan daya saingnya, maka kita sangat berisiko menjadi bangsa yang termarginalkan di era kompetisi global. Lemahnya daya saing suatu bangsa akan mengakibatkan rentannya kemandirian bangsa tersebut karena akan terjebak pada dua perangkap globalisasi atau globalisation trap yaitu perangkap teknologi atau technology trapdan perangkap budaya atau culture trap. Kedua perangkap ini umumnya dengan cepat dapat dialami oleh suatu bangsa dengan karakter yang lemah. Sebagai misal perangkap teknologi akan menjebak sebuah bangsa untuk membangun industri yang hanya berbasiskan pada lisensi atau re-alokasi pabrik tanpa adanya pembinaan kapabilitas teknologi, sehingga bangsa tersebut, meskipun tampaknya dapat memfabrikasi berbagai produk, namun esensinya proses fabrikasi itu sebenarnya hanya dilakukan pada tahapan yang relatif tidak atau kurang penting. Adapun tahapan dari proses yang lebih penting (atau sangat penting) dari proses fabrikasi tersebut masih dikuasai oleh negara asing. Sehingga pada akhirnya bangsa yang demikian aktifitas industrinya akan sangat bergantung dengan entitas asing. 

            Adapun perangkap budaya umumnya adalah dalam bentuk intervensi tata nilai unsur-unsur asing kepada budaya lokal suatu bangsa. Hal ini sangat dimungkinkan sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi serta transportasi yang menjadikan interaksi antar manusia menjadi semakin intensif. Teknologi komputer-jaringan atau internet saat ini telah menjadikan transaksi informasi menjadi sangat mudah. Namun, terkadang amalgamasi atau penggabungan antara tata nilai budaya yang berbeda malah menghasilkan jenis budaya baru yang tidak relevan dengan adat istiadat dasar dari bangsa tersebut. Bahkan sering akhirnya bersifat counter-productive pada pembangunan bangsa yang bersangkutan. Dalam kasus Indonesia, misalnya intervensi budaya hedonistik dan materialis berpotensi untuk melunturkan nilai-nilai budaya dasar Indonesia yaitu kekeluargaan dan relijius.

            Kedua perangkap yang diulas diatas, haruslah dijadikan sebagai tantangan yang perlu diwaspadai dalam membangun bangsa di era global. Unsur yang sangat penting dalam memperkuat jati diri bangsa dalam menghadapi kedua perangkap tersebut adalah terus menumbuhkembangkan karakter unggul yang dimiliki oleh bangsa ini dan telah dibuktikan aktualisasinya oleh para pendiri bangsa ketika memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia.

            Sekarang ini setelah 62 tahun merdeka, harus diakui bahwa bangsa Indonesia telah mengalami berbagai dinamika proses transformasi karakter bangsa. Dalam kurun waktu tersebut telah cukup banyak dicapai berbagai hasil pembangunan walaupun harus diakui masih banyak beberapa kekurangan yang perlu ditingkatkan pencapaiannya khususnya terkait dengan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.

            Bangsa kita saat ini dihadapkan pada sejumlah paradoks terkait dengan pembangunan karakter bangsa. Di satu pihak, pembangunan bangsa ini telah mencatat sejumlah prestasi, seperti pertumbuhan ekonomi yang membaik dan hampir mencapai target 6% di tahun 2007 ini, kuota ekspor yang terus meningkat, cadangan devisa yang semakin besar dan jumlah penduduk miskin juga telah semakin berkurang. Namun di pihak lain, kita masih menghadapi sejumlah fenomena seperti kasus korupsi, saling memfitnah dalam kehidupan bernegara dan sejumlah ekses lain yang tidak mencerminkan sifat-sifat karakter unggul yang telah pernah dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini.

            Oleh karena itu merombak tatanan suatu bangsa di era globalisasi tidak cukup hanya dengan menjadikan masyarakat bangsa tersebut berada dalam tatanan pola kehidupan demokratis yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heterogenitas politik, akan tetapi di era knowledge based economy dituntut adanya hal yang lebih dari itu, yakni suatu tatanan masyarakat demokratis yang terus melakukan pembelajaran atau learning society dalam upaya untuk mencapai suatu peningkatan kapasitas pengetahuan yang kontinyu sehingga akan terbentuk suatu masyarakat madani yang berdaya saing ataucompetitive civil society. Inilah bentuk masyarakat yang mendukung untuk tercapainya kemandirian dan peningkatan martabat bangsa.

            Makna kemerdekaan dari perspektif pembinaan karakter bangsa adalah ketika suatu bangsa sanggup membentuk masyarakat madani yang berdaya saing. Dan hal itu dapat dilakukan berdasarkan pada dua prinsip. Prinsip yang pertama adalah mengutamakan pemberdayaan karakter bangsa terutama kaum mudanya agar menjadi individu yang kreatif. Dan prinsip yang kedua adalah menciptakan suatu tatanan pembangunan nasional yang bersifatinnovation-led development. Atau pembangunan yang berkarakter, yaitu pembangunan yang tidak sekedar mengutamakan aspek fisik belaka, akan tetapi juga menonjolkan aspek pembentukan tata nilai atau value creating sehingga akan memacu terjadinya stimulasi pembentukan karakter yang positif.

Mekanisme Institusional dan Pembinaan Bangsa

            Salah satu contoh dimana bangsa ini masih memiliki karakter unggul adalah kenyataan bahwa sejumlah anak-anak didik kita meraih prestasi gemilang dengan menjadi juara dunia olimpiade fisika. Sebuah prestasi yang secara implisit memberikan arti penting bahwasanya bangsa Indonesia juga memiliki kemampuan pola pikirlogic yang unggul dan setara dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Catatan prestasi ini juga bukti empiris bahwasanya masih ada komponen bangsa yang tidak malas dan memiliki karakter kerja keras serta sikap bersaing untuk selalu menjadi yang terbaik di era kompetisi inovasi global atau global innovation race. Anak-anak muda kita yang berprestasi ini jelas merupakan produk institusional bidang pendidikan. Sehingga menjadi jelas bagi kita, bahwasanya untuk pembangunan karakter bangsa maka mekanisme institusional memiliki peran yang sangat penting.

            Tanpa adanya mekanisme institusional yang kuat, maka akan berpotensi untuk gagalnya suatu induksi positif dari karakter bangsa yang baik, kepada kanal-kanal komponen bangsa lainnya, sehingga karakter positif tersebut tidak dapat di transmisikan ke seluruh denyut pembangunan.

            Apabila kelemahan mekanisme institusional ini dibiarkan maka akan mengakibatkan erosi dari karakter positif bangsa menuju pada tata nilai yang tidak membangun atau counter-productive. Misalnya, lemahnya mekanisme institusional pada pembangunan karakter bangsa akan mempersulit adanya induksi mentalitas bersaing dari para juara olimpiade fisika kepada komponen bangsa lainnya, sehingga para juara olimpiade fisika ini malah mengalami reduksi kapasitas pengetahuan ketika berinteraksi dengan komponen bangsa lainnya.

            Pendidikan sebagai mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan karakter bangsa juga berfungsi sebagai arena untuk mencapai tiga hal prinsipil dalam pembinaan karakter bangsa yaitu:

            Hal pertama adalah pendidikan sebagai arena untuk re-aktifasi sejumlah karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki karakter kepahlawanan, nasionalisme, sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau adalah bukti keberhasilan kita membangun karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju, berbudaya dan berpengaruh.

            Bahkan sampai di era 40-an dan 50-an kita pernah bangga menjadi bangsa Indonesia. Dunia mencatat, bahwa di akhir tahun 40-an, Indonesia adalah salah sat u dari sedikit negara yang merdeka dengan perjuangan berat. Kemudian di tahun 50-an kita pernah bangga sebagai bangsa yang menjadi pusat perhatian dunia ketika kita menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung.

            Sampai dengan tahun 70-an dunia pendidikan tinggi kita masih bisa berbangga, karena menjadi tempat berguru dari sejumlah mahasiswa dan kaum intelektual mancanegara. Memang kita tidak boleh terlena dengan kejayaan masa lampau, akan tetapi menjadikannya sebagai dorongan untuk peningkatan motivasi dan semangat dalam menapak masa depan merupakan satu hal yang diperlukan dalam rangka memupuk mentalitas positif yang harus kita perjuangkan untuk dapat dibangkitkan kembali. 

            Hal kedua adalah pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk peningkatan daya saing bangsa. Untuk yang kedua ini maka perkenankan saya menyampaikan dua karakter penting yakni karakter kompetitif dan karakter inovatif.

            Karakter kompetitif memiliki esensi sebuah mentalitas dan watak yang mendorong adanya semangat belajar yang tinggi. Pembudayaan karakter ini akan mendorong minat untuk terus melakukan pembelajaran dalam memahami sekaligus mengatasi persoalan yang dihadapi. Karakter kompetitif adalah antagonis atau lawan dari  instan, karena karakter kompetitif akan mendorong adanya upaya perbaikan secara terus menerus dan bertahap ketika menghadapi persaingan yang semakin berat. Dalam kenyataannya, hanya dengan karakter kompetitiflah suatu bangsa dapat mempertahankan keunggulan daya saingnya. Bahkan di eraknowledge based economy, dengan karakter kompetitiflah, suatu bangsa mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka.

            Karakter inovatif adalah watak dan mentalitas yang selalu mendorong individu dalam melakukan inovasi-inovasi baru pada berbagai hal. Pada hakekatnya inovasi hanya dapat diciptakan setelah melalui serangkaian proses belajar secara kolektif, atau lazim dikenal denganlearning curve. Bangsa yang maju dan modern memiliki sejumlahlearning curve yang dapat menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya proses inovasi. Mentalitas inovasi tidak lepas dari proses belajar, termasuk belajar dari kesalahan dan kegagalan di masa lalu.

            Hal ketiga adalah pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasikan kedua aspek diatas yakni re-aktifasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif, ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pembangunan. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh masyarakat dan pemerintah. 

            Maka membangun karakter bangsa untuk mencapai kemandirian, harus diarahkan pada perbaikan dan penyempurnaan mekanisme institusional. Untuk melakukan penyempurnaan mekanisme institusional ini, maka pemerintah telah memberikan perhatian besar dalam pengembangan dunia pendidikan nasional. Pendidikan yang baik dan produktif merupakan sarana paling efektif untuk membina dan menumbuhkembangkan karakter bangsa yang positif. Di samping juga peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan masyarakat, yang dapat mengantarkan bangsa kita mencapai kemakmuran.

            Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah telah menetapkan bidang pendidikan sebagai agenda penting dalam pembangunan nasional, sekaligus menjadi prioritas utama dalam rencana kerja pemerintah. Komitmen pemerintah ini ditunjukkan dengan alokasi anggaran yang cukup besar untuk pembangunan sektor pendidikan.

a. Paham kebangsaan, rasa kebangsaan, dan semangat kebangsaan
Paham Kebangsaan.
 Paham Kebangsaan merupakan pengertian yang mendalam tentang apa dan bagaimana bangsa itu mewujudkan masa depannya. Dalam mewujudkan paham tersebut belum diimbangi adanya legitimasi terhadap sistem pendidikan secara nasional, bahkan masih terbatas muatan lokal, sehingga muatan nasional masih diabaikan. Tidak adanya materi pelajaran Moral Pancasila atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) atau sertifikasi terhadap Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di setiap strata pendidikan, baik formal, nonformal, maupun di masyarakat luas.
Rasa Kebangsaan. Rasa kebangsaan tercermin pada perasaan rakyat, masyarakat dan bangsa terhadap kondisi bangsa Indonesia yang dalam perjalanan hidupnya menuju cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini masih dirasakan jauh untuk menggapainya, karena lunturnya rasa kebangsaan yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai peristiwa, baik perasaan mudah tersinggung yang mengakibatkan emosional tinggi yang berujung pada pembunuhan, bahkan pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agustus yang setiap tahun dirayakan kurang menggema, karena kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap Pancasila. Di samping itu, adanya tuntutan sekelompok masyarakat dengan isu putra daerah terutama dalam Pilkada masih terjadi amuk massa dengan kepentingan sektoral, sehingga akan mengakibatkan pelaksanaan pembangunan nasional terhambat.

Semangat Kebangsaan. Belum terpadunya semangat kebangsaan atau nasionalisme yang merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Hal ini tercermin pada sekelompok masyarakat mulai luntur dalam memahami adanya pluralisme, karena pada kenyataannya bangsa Indonesia terdiri atas bermacam suku, golongan dan keturunan yang memiliki ciri lahiriah, kepribadian, kebudayaan yang berbeda, serta tidak menghapus kebhinekaan, melainkan melestarikan dan mengembangkan kebhinekaan sebagai dasarnya.
Penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam wawasan kebangsaan yang terasakan saat ini, belum mampu menjaga jati diri, karakter, moral dan kemampuan dalam menghadapi berbagai masalah nasional. Padahal dengan pengalaman krisis multidimensional yang berkepanjangan, agenda pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam bentuk wawasan kebangsaan
bagi bangsa Indonesia harus diarahkan untuk membentuk serta memperkuat basis budaya agar mampu menjadi tumpuan bagi usaha pembangunan di segala aspek kehidupan maupun di segala bidang.

b. Wawasan Kebangsaan


 Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.
Rasa kebangsanaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan  atau semangat patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya.
Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia.  Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.
Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.

c. Wawasan Nusantara
 Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.
 Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:
1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial".
2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

d. Peran yang dapat dilakukan Mahasiswa dalam menanggulangi kondisi  Negara pada saat ini.
Menurut Saya, Belajar dengan Sungguh-Sungguh agar bermanfaat bagi negara, Karena hampir setengah rakyat Indonesia mementingkan sifat ego sehingga tidak jarang terjadi Kekerasan dan anarki dan sebabnya tidak lain adalah kekuranganya pendidikan. Sehingga rakyat indonesia perlu belajar dengan Sungguh-Sungguh.
e.  Pada akhir – akhir ini tindakan mahasiswa di lingkungan kampus – kampus (demo, anarkis, perkelahian, judi, narkoba, dsb) tertuntu cukup memprihantinkan, yang dapat menggangu proses belajar mengajar. Tindakan apa yang perlu untuk mengatasi hal – hal yang tidak semestinya ?
Menurut saya, Ditanamkan sifat kerohanian (agama) sehingga mereka apabila ingin melakukan yang tidak benar akan berfikir dua kali lebih matang. Dan ditanamkan pendidikan pada diri mereka dan dikembangkan sifat peka dan peduli antar sesama.

       
Daftar Pustaka :
dan Sumber-sumber lain.


Wednesday, April 3, 2013

WARGANEGARA DALAM PASAL 26 UUD - 1945



PRIBUMI, WNI, WARGANEGARA DALAM PASAL 26 UUD-1945

Di dalam pasal 26 UUD tahun 1945 terdiri dari 3 ayat, yaitu antara lain:
1.) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2.) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3.) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Dari ayat-ayat di atas dapat dilontarkan beberapa pertanyaan. Pertama, pantaskah isu mengenai 'pribumi dan non-pribumi' dikemukanan kepada masyarakat. Kedua, siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai WNI dan penduduk di sini?
Berbicara tentang pantas-tidaknya untuk suatu isu diangkat dan dibicarakan ke khalayak umum adalah sebuah hal yang sulit untuk ditentukan. Beberapa isu yang sangat sensitif seperti rasial dan agama sepatutnya tidak terlalu ditekankan. Dan memang terbukti kedua ‘isu panas’ inilah yang kerap kali menjadi sumber masalah dari Sabang hingga Merauke. Dan tak jarang berujung pada bentrok massa hingga pertumpahan darah. Sama halnya dengan isu ‘pribumi dan non pribumi’ ini, yang sepertinya sudah mendarah daging di dalam hampir setiap warga negara Indonesia.
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Sebagai contoh, tersebutlah sepasang suami-istri bernama Pak Budi dan Ibu Ina. Mereka berdua adalah warga asli kota Bogor. Namun karena suatu alasan tertentu pindahlah mereka berdua ke kota Milan di Italia. Di sana Ibu Yani melahirkan seorang anak bernama Joko. Joko tumbuh dan besar di Milan. Pada akhirnya Joko menikah dengan seorang perempuan keturunan Indonesia namun lahir di Eropa yang kebetulan berkuliah di Milan, bernamaYanti. Dari pernikahan mereka lahirlah putri mereka Intan, masih di kota yang sama di mana mereka bertemu. Joko dan Yanti membesarkan Intan di Milan, hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk berkunjung ke kota asal orang tua dari Joko yaitu kota Bogor di Jawa Barat. Bersama putri mereka Intan tibalah mereka di kota Bogor. Pertanyaannya adalah, apakah Intan pantas dan layak disebut sebagai warga pribumi di sana? Sedangkan dia dan ayahnya dilahirkan di Milan, Italia, dan mereka pun tidak memiliki sepetak tanah pun di Bogor. Sudah barang tentu masyarakat di kota Bogor akan menganggap Joko dan Intan sebagai pribumi tanpa harus menanyakan di mana mereka lahir, karena itu sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang memiliki ‘wajah pribumi’.
Dari contoh paragraf di atas saja sudah jelas tentang masih abu-abunya penentuan seseorang dianggap sebagai pribumi atau tidak. Lalu bagaimana dengan seorang warga keturunan Tionghoa (sebut saja bernama Hendro), yang memiliki sebidang tanah di suatu daerah di Indonesia warisan dari nenek-moyangnya yang sejak zaman Hindia Belanda lahir besar dan tinggal di Indonesia, pantaskah disebut sebagai seorang warga pribumi? Apabila merujuk dari definisi asli tentang ‘pribumi’ pada paragraf kedua, Hendro adalah seorang pribumi. Namun apakah masyarakat yang tinggal di sekitarnya ‘rela’ menyebut Hendro sebagai warga pribumi asli Indonesia? Nampaknya hal itu sangat mustahil.
Beralih ke pertanyaan kedua mengenai WNI dan penduduk. Seseorang disebut sebagai WNI adalah apabila telah diakui oleh Undang-undang sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Dari penjabaran di atas dapat ditarik dua kata utama, yaitu undang-undang dan KTP. Jadi seseorang harus diakui terlebih dahulu oleh undang-undang lalu setelah itu memiliki KTP, barulah bisa disebut sebagai Warga Negara Indonesia.
Sedangkan penduduk adalah orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain. Dari pengertian ini dapat dimengerti bahwa kependudukan tidak samadengan kewarganegaraan. Dan hal ini pun sudah tertuang dengan jelas pada ayat nomor 2, bahwa orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia pun disebut sebagai penduduk.
Jadi pada akhirnya, kembali kepada asas kemanusiaan dan hak-hak asasi yang hakiki. Setiap orang berhak untuk tinggal dan hidup di mana pun mereka mau. Asal tidak menyalahi hukum dan undang-undang yang ada, hal tersebut jelas diperbolehkan. Dan isu mengenai ‘pribumi dan non pribumi’ ini pun sebenarnya tidak perlu diperpanjang lagi. Karena selain dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, juga hal ini tidak memiliki dasar yang jelas dan masih mengambang. Cukup ingatlah satu slogan yang akan selalu ada di kaki Burung Garuda: “Bhinneka Tunggal Ika” dan berharap dapat menyadarkan bahwa betapa indahnya hidup bersama di dalam perbedaan.

a.      Istilah Pribumi Dan Non Pribumi
Sering kali mungkin kita mendengar ada suatu kalaangan masyarakat yang menyebutkan mereka sebagai seorang “pribumi” dan sang pendatang entah itu dari satu pulau yang sama atau berbeda kepulauan di sebut sebagai “non pribumi”, suatu anggapan yang saya bilang adalah “persepsi bodoh”, Di negara yang hampir penduduknya berbeda, suka, agama, ras, dan adat masih mementingkan kepentingan individu kelompok priyoritas, dan minoritas akan di anggap sebagai yang berbeda, dan yang lebih menakutkan akan muncul perpecahan, perang suku, tawuran antar warga dsb, sehingga kita melupakan nilai kemerdekaan yang di berikan para pahlawan kita, sehingga akan terasa sia-sia darah, kringat dan energi yang mereka berikan, “ Bhineka Tunggal Ika” pun seakan hanya sebuah kalimat indah yang tergambar di sebuah simbol bergambar “burung garuda” bagi saya pribadi semua itu hanya omong kosong, dan persepsi seorang yang bodoh yang ingin memecahkan kekuatan kita, tidak ada, orang jawa, medan, aceh, sunda, banjar, dsb semua sama dan satu bernama “indonesia” dan negara ini pun lahir bukan karena kesamaan yang mendominasi tetapi karena perbedaan yang mengikat kita pada tujuan yang sama.

1. Adakah Penduduk asli indonesia dan Domisilinya.
 Penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.

            Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
            Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikansiapapun.
            Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:

 1. Penduduk asli ditumpas, atau
 2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
 3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :

            1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
            2. Adanya peperangan antar suku;
            3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.

            Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.
            Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.

            Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.
            Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulauMelanesia.
            Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.

Suku – suku di Indonesia :
Suku Asmat di Papua.
Suku bangsa Banjar sebagian besar menempati wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,
Suku Dani di Wamena, Papua, Indonesia.
Dayak atau Daya mendiami Pulau Kalimantan,
2. Mengapa Timbul Istilah Pribumi Dan Non Pribumi
Isu pribumi dan pribumi timbul di karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan bernegara belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita, sehingga timbul kekuatan kelompok, kelompok sparatis masyarakat dengan orientasi mementingkan kelompoknya atas nama, agama, tuhan dan yang lebih menakutkan atas nama warga negara indnesia
3. Siapa yang di maksud non pribumi
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas masih menyisakan beberapapertanyaan.
            Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Sebagai contoh, tersebutlah sepasang suami-istri bernama Pak Budi dan Ibu Ina. Mereka berdua adalah warga asli kota Bogor. Namun karena suatu alasan tertentu pindahlah mereka berdua ke kota Milan di Italia. Di sana Ibu Yani melahirkan seorang anak bernama Joko. Joko tumbuh dan besar di Milan. Pada akhirnya Joko menikah dengan seorang perempuan keturunan Indonesia namun lahir di Eropa yang kebetulan berkuliah di Milan, bernamaYanti. Dari pernikahan mereka lahirlah putri mereka Intan, masih di kota yang sama di mana mereka bertemu. Joko dan Yanti membesarkan Intan di Milan, hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk berkunjung ke kota asal orang tua dari Joko yaitu kota Bogor di Jawa Barat. Bersama putri mereka Intan tibalah mereka di kota Bogor. Pertanyaannya adalah, apakah Intan pantas dan layak disebut sebagai warga pribumi di sana? Sedangkan dia dan ayahnya dilahirkan di Milan, Italia, dan mereka pun tidak memiliki sepetak tanah pun di Bogor. Sudah barang tentu masyarakat di kota Bogor akan menganggap Joko dan Intan sebagai pribumi tanpa harus menanyakan di mana mereka lahir, karena itu sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang memiliki ‘wajah pribumi’.
            Dari contoh paragraf di atas saja sudah jelas tentang masih abu-abunya penentuan seseorang dianggap sebagai pribumi atau tidak. Lalu bagaimana dengan seorang warga keturunan Tionghoa (sebut saja bernama Hendro), yang memiliki sebidang tanah di suatu daerah di Indonesia warisan dari nenek-moyangnya yang sejak zaman Hindia Belanda lahir besar dan tinggal di Indonesia, pantaskah disebut sebagai seorang warga pribumi? Apabila merujuk dari definisi asli tentang ‘pribumi’ pada paragraf kedua, Hendro adalah seorang pribumi. Namun apakah masyarakat yang tinggal di sekitarnya ‘rela’ menyebut Hendro sebagai warga pribumi asli Indonesia? Nampaknya hal itu sangat mustahil.
4. Kenapa Istilah non Pribumi yang Menonjol Hanya pada Etnis Tionghoa
           

Semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean dalam Susetyo, 1999) Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik, mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakangerakan anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis Pribumi (Helmi, 1991).
        Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu, orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa (Gerungan, 2002).
             Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono, 1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak dapat dipercaya (Sarwono, 1999). Permasalahan antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana ia sendiri menjadi minoritas. 

             Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama. Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang berasal dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup) berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996). Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya (Johnson & Johnson, 2000).              
           Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher & Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
              Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup. Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi (karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).
5.  Langkah apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di Indonesia.

            Negara ini terdiri dari berbagai suku, agama, ras, maka itu marilah kita berpikir ulang, sebenarnya apa yang salah. yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana cara mengedukasi orang – orang yang rasialis/yang suka mendiskriminasikan dapat menerima "perbedaan", sehingga kita yang dari berbagai macam itu dapat bekerjasama dalam membangun negara ini jauh lebih baik.

           Terimakasih untuk para Pembaca. Kritik dan saran Anda maupun Kalian sangat berarti untuk Saya :)

SUMBER :
sumber : http://www.mail-archive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg03792.html
Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
Sumber : Wikipedia.com
Sumber : http://m-adinugraha.blogspot.com/2010/11/pribumi-dan-non-pribumi.html
Sumber : http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Sumber :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf